“Keberuntungan
Ada
Dalam
Kesempatan”
(Karya
: Erviana_XI AP 1)
Kemarin adalah hari ulangtahunku. Tepatnya tanggal 16 Februari 2012.
Hari yang bersejarah itu, ku habiskan dengan berkumpul bersama Fia,
Andin, dan Risa di atas rumput taman sekolah. Bersama kue tart
coklat polos,berhiaskan 2 buah lilin putih,berdiameter 25 cm itu kami
merayakan ulangtahunku yang ke 17 tahun. Aku memang sengaja hanya
mengundang sahabat-sahabatku saja, karena aku tahu jika aku
mengundang teman-teman sekelas untuk ikut merayakan hari kelahiranku
itu, kue yang ku beli seharga Rp.17.500,00 dari hasil jerihpayahku
menabung selama satu minggu tersebut tidak akan cukup untuk sekedar
mengganjal perut mereka. Maka dari itu juga aku memilih waktu
sepulang sekolah untuk merayakannya, dimana tak banyak siswa yang
masih berkeliaran di lingkungan sekolah.
Tapi walau hanya sekedar pesta kecil seperti tadi
siang, aku sedikit senang sahabat-sahabatku tetap bersuka cita
menemaniku meniup lilin, apalagi mereka juga memberiku beberapa kado
yang istimewa. Aku cukup senang dengan hal itu. Namun terlepas dari
itu semua, aku tak pernah mengharapkan hari ulangtahunku akan terjadi
di tahun ini, tahun depan, dan tahun-tahun yang akan datang. Aku tak
ingin umurku bertambah jika aku tahu hidupku akan berubah seiring
dengan bertambahnya usia sang waktu.
Sebelumnya aku tidak ingin menjadi anak yang sering bolos sekolah,
menyendiri dalam ruang-ruang yang sempit seperti orang sakit jiwa,
apalagi menjadi sosok yang tak punya masa depan atau harapan seperti
sekarang, itu bukan kemauanku yang sebenarnya. Namun aku juga tak
mengerti mengapa bisa begini. Hanya saja sejak orangtuaku yang
tercinta berubah, aku mulai senang dengan dunia yang asing seperti
ini. Begitupun dengan perayaan ulangtahunku,aku tak berharap
orangtuaku mau menemani untuk sekedar mengucapkan selamat ulangtahun
padaku.
“Ervina, tetap semangat yah. Semua manusia memiliki keberuntungan
yang tersembunyi, bersyukurlah atas apa yang kau miliki, karena itu
adalah keberuntunganmu.”
Aku ingin menangis ketika membaca tulisan sahabat-sahabatku pada
kartu ucapan yang mereka selipkan di antara sepasang boneka kucing
kecil yang mereka hadiahkan. Seketika itu juga aku duduk bersandar
pada tembok kamarku sambil memeluk boneka tersebut.
“terimakasih kawan-kawan, aku berjanji untuk menghargai hidupku
lebih dari sekarang” kataku sambil menangis.
Akupun tidak sadar jika aku tidur dilantai malam itu. Hingga ayam
berkokok aku baru bisa bangun dan menggigil kedinginan. Namun baru
saja aku menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka, aku mendengar
percakapan antara Ayah dan Ibu di ruang makan.
“tidak usah banyak bicara! Urus saja urusanmu
sendiri.”
“baiklah terserah kau saja, kau memang sok pintar!”
“siapa yang peduli!! Pergi ya pergi saja tidak usah banyak bicara.
Aku sudah muak!”
Serasa mendengar petir yang tak berhenti menyambar di pagi yang
mendung . Sungguh sangat keras dan terasa sakit sekali di telinga
ketika mendengar pertengkaran kedua orangtuaku di hari sisa-sisa
ulangahunku. Iyah, mereka memang sedang bertengkar bahkan bisa
dibilang sangat sering bertengkar. Tak peduli pagi atau malam mereka
kerap kali mengumandangkan pertengkaran hebat yang membuatku gila.
Mungkin mereka mempertahankan keegoisan dan harga diri. Selebihnya
entah apa yang mereka pikirkan, aku tak pernah tahu. Yang aku lihat
hanyalah banyak perabot dan hiasan-hiasan rumah hancur berantakan
menjadi korban pelampiasan amarah saat Ayah pulang ke rumah. Entah
karena apa mereka begitu. Entah karena apa mereka tak lagi menjadi
Ayah dan Ibuku yang dulu, yang selalu memberi perhatian dan
kelembutan, yang selalu memberi kasihsayang dan senyuman manis, yang
selalu bertutur halus dan mendidik, bukan seperti sekarang ini. Semua
berubah menjadi neraka yang dibalut atas nama keluarga. Namun karena
sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini aku tak lagi merasa heran
dan aku mencoba menjadikan hal yang sebenarnya luar biasa ini menjadi
makanan ringan yang begitu pahit untuk disantap menjadi pelengkap
semangat, walaupun sebenarnya begitu menyakitkan untuk bisa ku terima
di usiaku yang seharusnya bahagia.
Melihat aku yang tengah bersiap-siap untuk berangkat
sekolah, mereka tak lagi meneruskan pembicaraan sengit lagi. Namun
Ayah tiba-tiba keluar rumah bersama mobilnya sembari memasang wajah
yang emosi tanpa bicara sepatah katapun.
“aku berangkat,bu. Nanti aku pulang agak sore, aku mau belajar
kelompok di rumah Fia.” Pamitku pada ibu yang mematung di samping
rak buku.
Aku menghampiri dan mencium tangannya kemudian memandangnya sebentar.
Ibu hanya diam dengan pandangan kosong. Akupun tak tahan melihat ibu
begitu, lalu aku putuskan untuk kembali melanjutkan langkahku menuju
sekolah dengan pikiran yang tak karuan.
“semangat.....semangat....semangat....semangat....” kataku pelan
mencoba menyemangati diri sambil menampari wajahku yang muram.
Sesampai di sekolah aku mencoba menarik senyum selebar-lebarnya,
memasang wajah yang ceria dan menghapus rasa malasku. Walau
keluargaku sudah tak lagi memberi perhatian yang lebih, aku tetap tak
ingin menjadikannya alasan untuk aku tak semangat dalam belajar.
“pagi Ervina.....” sapa Andin seraya menjajarkan langkahnya
denganku.
“pagi juga.....Fia sama Risa kemana? Kok ga bareng? “ jawabku
santai
“mereka sudah nangkring di kelas katanya mau buru-buru ngerjain PR”
“yah dasar mereka tuh, jadi kutu ndengkur aja kalo di rumah
hehehe....”
Akupun memulai belajar dengan semangat karena telah mendapat suasana
baru di sekolah. Namun ketika hendak pulang sekolah aku sering kali
sedih dan marah, melihat teman-temanku banyak yang dijemput Ayah atau
ibunya. Bukan karena orangtuaku sibuk dengan pekerjaan,sehingga
mereka tak bisa menjemput atau mengantarku, namun sejak aku kelas 3
SD mereka memang tak lagi punya waktu untukku. Hingga pada suatu
ketika aku menanyakan alasan kepulangan Ayah yang tidak menentu
kepada ibu. Waktu itu Ibu hanya memberi penjelasan bahwa mereka sudah
tak lagi akur dan aku baru bisa menyadari makna dari penjelasan itu
adalah sebenarnya mereka telah bercerai. Hal itu baru bisa aku
mengerti setelah aku berumur 12 tahun.
“IKUTI LOMBA MENULIS PUISI YUK, TEMANYA BEBAS, HADIAHNYA UANG TUNAI
SENILAI Rp.600.000,00 lhoooo....UNTUK 2 ORANG PEMENANG......”
Membaca potongan selembar koran berlumuruan minyak goreng yang ku
temukan di tepi jalan, ketika hendak pulang sekolah tersebut aku
sedikit tertarik. Aku pikir tidak ada salahnya jika aku ikut. Apalagi
mengetahui hadiah yang ditawarkan cukup menarik aku semakin semangat
untuk membaca persyaratan lomba. Sesampai di rumah aku mencari
kumpulan-kumpulan puisi yang telah ku buat. Setelah memilah-memilah
akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan karya puisiku yang berjudul
“Keluargaku adalah Keberuntunganku.”
Selama kurang lebih 2 bulan, akhirnya tibalah pada
hari pengumuman pemenang lomba yang akan dicantumkan pada koran
Pendidikan. Di tengah perjalanan menuju ke sekolah aku iseng membeli
koran tersebut. Sebenarnya aku tidak yakin jika aku dapat
memenangkan lomba yang diikuti ratusan orang tersebut, apalagi
pemenang hanya diambil 2 orang, ditambah lagi mengingat karya-karya
puisiku yang biasanya hanya sebatas menjadi pelengkap untuk mading
sekolah yang jarang diperhatikan apalagi diapresiasikan. Aku sedikit
pesimis dengan diriku sendiri. Setelah membuka sedikit demi sedikit
halaman koran tersebut, akhirnya aku menemukan halaman yang memuat
nama-nama pemenang lomba menulis puisi tersebut. Ku bimbing pandangan
mataku untuk mencari namaku yang mungkin tertulis pada salah satu
baris, dan benar saja namaku tertulis menjadi pemenang di urutan ke
dua. aku hampir ak percaya . Tak bisa kugambarkan betapa terkejut dan
senangnya aku mengetahui hal tersebut.
Setelah hari itu aku mencoba mencari sisi positif
dari kehidupanku yang mungkin tak sesempurna orang lain. Uang hasil
menang lomba itu aku tabung untuk modal membeli laptop. Walau mungkin
membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi aku akan selalu optimis.
Lebih dari itu, yang paling penting adalah aku senang bisa menyadari
ternyata banyak hal yang menyenangkan yang belum aku temui di luar
sana. Sungguh sedikit menyesal mengapa pada hari-hari yang lalu aku
menjadi orang yang bodoh hingga menyia-nyiakan masa mudaku dengan
percuma. Walaupun orangtuaku tak lagi bisa memberi kasihsayang
seperti dulu, harusnya aku tetap bersyukur masih bisa menjadi anak
yang dapat menikmati saat-saat duduk di bangku sekolah saat ini.
Iyah, ternyata aku masih terlalu beruntung. Tapi keberuntungan hanya
akan bisa aku dapatkan dengan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya
tanpa lupa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan saat ini.
Mengetahui puisi-puisi dan cerpen-cerpenku ternyata selain bisa
dijadikan media untuk menampung seluruh keluhan dan sukacita, tapi
dapat dijadikan sebagai pekerjaan sambilan yang menghasilkan uang,
aku tak lagi ragu untuk terus menulis apalagi setelah kakak Andin
yang bekerja sebagai editor majalah yang cukup terkenal di Indonesia
mau membantuku untuk mengembangkan karya-karyaku menjadi sebuah buku,
aku semakin semangat untuk kembali hidup menjadi manusia baru. Namun
walau begitu aku tetap berkeinginan menjadi seorang psikolog di
kemudian hari nanti, Karena sejak dulu aku ingin mengenal banyak
orang dengan mendalami sisi-sisi jiwa mereka yang tersembunyi.
Mungkin dengan aku menjadi psikolog aku dapat memahami alas an
orangtuaku memilih untuk bercerai dibanding tinggal bersama.